Oleh: KH Hafidz Abdurrahman, MA
Al-istishnâ’ adalah akad terhadap barang yang dijual dalam tanggungan, dimana kerjanya disyaratkan atas pembuat (as-shâni’). Dari Anas ra, berkata: “Nabi saw meminta dibuatkan sebuah cincin dan beliau bersabda, “Kami sudah mengambil cincin dan kami ukir dengan sebuah ukiran, maka hendaklah jangan seorang pun mengukir yang sama.” Anas berkata, “Sungguh aku melihat kilau sinarnya di jari kelingking Rasulullah saw.”
Jadi, Rasul saw. minta dibuatkan sebuah cincin dengan spesifikasi tertentu. Setelah itu, pembuatnya mengerjakan cincin tersebut sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan oleh Rasulullah saw. Rasul saw lalu mengambil dan memakainya di jari kelingking baginda. Ini menunjukkan akad al-istishnâ’ itu diperbolehkan. Kebohannya juga ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan Abu Dawud:
“Rasulullah saw mengirim kepada Fulanah, yaitu isteri seseorang yang dipanggil Sahal, “Suruhlah anakmu yang tukang kayu agar membuatkan bangku untuk aku duduk jika aku berbicara kepada orang-orang.” Wanita itu pun menyuruh anaknya, dan anaknya membuatnya dari pohon hutan, kemudian dia bawa dan wanita itu mengirimnya kepada Nabi saw, lalu Nabi menyuruh agar diletakkan di sana dan aku pun melihat Rasulullah saw shalat di atasnya.”
Praktik Istishnâ’ yang dilakukan Rasul saw untuk membuat mimbar ini juga menunjukkan diperbolehkannya akad istishnâ’. Al-istishnâ’ merupakan bagian dari akad jual beli. Ini dibuktikan dari kepemilikan Nabi saw atas cincin tersebut. Bukti yang menunjukkan kepemilikan adalah, cincin itu diukir sebagaimana permintaan Rasul saw. juga dengan ukuran yang sama dengan ukuran jari kelingking Rasul saw. Ini membuktikan kepemilikan Rasul atas cincin tersebut. Sesuatu yang menunjukkan, bahwa akad seperti ini sebenarnya merupakan akad jual-beli, yaitu jual-beli cincin.
As-Sarakhsi mengatakan, “Ketahuilah, bahwa jual beli itu ada empat macam: Di antaranya dia menyebutkan … jual beli harta yang di dalamnya disyaratkan adanya pengerjaan, yaitu al-istishnâ’.” Dr. Bakar Abu Zaid mengatakan, “Yang rajih (kuat) adalah, bahwa al- istishnâ’ merupakan salah satu bentuk jual beli, tetapi ia khas dengan syarat-syarat khusus sebagaimana akad salam.”
Dalam kitab an-Nizhâm al-Iqtishâdî dinyatakan, “Dahulu masyarakat pada masa Rasul saw melakukan istishnâ’ dan baginda pun mendiamkan mereka. Diamnya Rasul saw adalah persetujuan kepada mereka terhadap akad istishnâ’. Persetujuan Rasul saw dan perbuatan baginda statusnya seperti ucapannya adalah dalil syar’i. Obyek akadnya adalah barang yang dipesan untuk dibuat (al-mustashna’ fîh), yaitu cincin, bangku, lemari, mobil dan lainnya. Al-istishnâ’ berdasarkan sudut pandang ini termasuk bentuk jual beli, bukan ijârah. Seandainya seseorang membawa bahan baku sendiri kepada si pembuat, lalu memintanya untuk membuatkan sesuatu untuknya, maka dalam konteks seperti ini, istishnâ’ ini termasuk bentuk ijârah.”
Jadi al-istishnâ’ merupakan salah satu bentuk jual beli. Tetapi, ia dikhususkan dengan sebutan tertentu, karena adanya hukum-hukum tambahan dari akad jual beli. Al-istishnâ’ termasuk dalam keumuman akad jual beli, tetapi bersifat khas, berbeda dari bentuk jual beli lainnya, sebagaimana salam (pesan barang) maupun sharf (pertukaran uang). Dengan demikian al-istishnâ’ merupakan akad yang di dalamnya berlaku syarat-syarat yang berlaku secara umum dalam jual beli.
Akad al-istishnâ’ merupakan akad yang mengikat (‘aqd[un] lâzim) begitu akadnya sempurna. Sebab, akad tersebut dilakukan terhadap barang yang dijual. Akad jual beli ini hukum asalnya mengikat. Yang menunjukkan akad al-istishnâ’ ini mengikat adalah perbuatan Rasul saw dalam kasus istishnâ’ cincin dan mimbar, serta spesifikasi Rasul pada kedua barang tersebut. Cincin tersebut dibuat sesuai ukuran jari kelingking Rasul saw dan diukir dengan ukiran yang tidak seorang pun diizinkan mengukir dengan ukiran yang sama. Cincin itu dibuat untuk Rasul saw dan tidak mungkin orang lain memanfaatkannya. Ini menunjukkan pemilikan Rasul saw atas cincin tersebut, dan berarti akad tersebut mengikat bagi Rasul saw. Hal yang sama juga terjadi pada kasus mimbar. Disamping itu, pembuat akan mengalami kerugian [dharar], jika akad al-istishnâ’ tersebut tidak mengikat, karena tidak ada orang lain yang bisa memanfaatkan cincin dan mimbar tersebut. Padahal, Rasul saw bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan perkara yang membahayakan orang lain.”
Di antara masalah kontemporer dalam akad al-istishnâ’ ini adalah penjualan apartemen, rumah, ruko atau bangunan di atas peta (maket plan). Jual-beli properti seperti ini termasuk dalam kategori al-istishnâ, dan berlaku hukum-hukum istishnâ’. Transaksi seperti ini boleh, tetapi harus dibatasi dengan syarat-syarat al-istishnâ.